JAGAD jurnalistik, komunikasi, seni dan budaya, hingga pendidikan dan olahraga, mengukir namanya sebagai legend. Khususnya di Sulawesi Selatan.

Wartawan senior dan tokoh pers Sulawesi Selatan versi Dewan Pers, akademisi, dan penulis buku. Dr M Dahlan Abubakar MHum, namanya. Baru saja meluncurkan buku otobiografinya "Lorong Waktu".

Ia berkelana di dunia, mencari dan menulis, nyaris tanpa jeda, untuk menemukan kebahagiaan. Menulis bagi ayah dua orang anak dan beberapa cucu itu, adalah kebahagiaan tingkat tinggi. Wartawan, seniman, budayawan, sekaligus politisi dan mantan Ketua PWI Sulsel, serta aktor peraih Piala Citra, Rahman Arge menyebutnya "tingkat keasyikan ma'rifat".

Tidak punya koran, media siber, bukan halangan bagi dia untuk menulis dan menulis. Bahkan sejumlah mantan anak didiknya berebut untuk memuat tulisannya bila doktor komunikasi itu melempar tulisannya di grup WhatsApp. 

Hingga detik ini. Seolah berhenti nafasnya jika tak menulis. Bahkan di pembaringan rumah sakit pun ia lakukan hobinya itu. Gatal betul tangannya. "Jangan larang Kak Dahlan menulis. Kalau kau larang, sama ji mencabut jiwanya," kata saya kepada wartawan muda. 

Pendiri Kompas Jakob Oetama selalu menyerukan wartawan Kompas untuk menulis buku. Puncak pencapaian (inklinasi) seorang wartawan ialah menulis buku. Dahlan sudah menulis puluhan buku. 

Terakhir yang "fresh from the oven", buku otobiografinya, Lorong Waktu, yang diterbitkan oleh penerbit Phinatama Media. Tebal, lebih 600 halaman termasuk sampulnya. 

Seperti kesehariannya, ketika membaca buku itu, MDA (begitu namanya tertulis di pohonebook saya) tak ubahnya hadir di hadapan kita menuturkan perjalanan hidupnya. Mengalir, bahkan tak terasa jauh keluar alur karena ia memberi konteks ceritanya. 

Tetapi seperti bisanya, kepiawaiannya merangkai cerita yang membuat kita tanpa sadar pula digiring kembali masuk alur pokok cerita. Dia ombang-ambingkan pembaca di lautan luas ceritanya, seperti ketika dia diombang-ambingkan dahsyatnya gelombang laut sewaktu pertama kali berlayar meninggalkan Bima kampung halamannya menuju Makassar untuk mengejar ilmu, kuliah di Universitas Hasanuddin.

Dahlan tidak melulu bercerita tentang dirinya, perjuangannya, drama kehidupannya, cerita lucunya seperti cinta monyet dia dengan adik kelasnya di kampung. Otobiografi ini sangat berwarna, karena ditaburi dengan cerita dan sejarah yang kontekstual.

Juga tak ubahnya kita membaca novel yang membuat kita sulit berhenti membaca. Maklum, Dahlan sarjana Sastra Indonesia. Mahasiswa satu-satunya di angkatannya. 

Dahlan melanglang buana, menambah wawasan dan pengalaman. Baik karena tugas maupun inisiatif sendiri. 

Seperti itu juga buku ini memperluas pengetahuan pembaca, yang semula tidak mengetahui menjadi paham. Misalnya, mengapa Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan bolak balik dari Makassar, ke Ujungpandang, dan kembali lagi ke Makassar. Siapa pelakunya dan apa latarbelakangnya, dipaparkan. 

 Itulah sebabnya, mengapa otobiografi ini, penuh warna, pengetahuan yang luas seperti sejarah Tambora. Lorong Waktu Dahlan Abubakar juga mendokumentasikan lorong-lorong sejarah Sulawesi Selatan dan para pelaku sejarahnya. Pun sejarah pertautan peradaban Bugis-Makassar dengan Bima. 

Buku Dahlan memaparkan dinamika anak manusia, yang tak pernah merasa rendah diri, banyak akal, gigih dan disiplin, haus akan ilmu pengetahuan. Tanpa menyebut diri profesional, tetapi diksi cerita ini merumuskan makna profesionalitas seorang jurnalis yang patut menjadi pelajaran dan referensi bagi jurnalis muda. 

Pada MDA, berlaku sebuah motto dalam bahasa Latin, yaitu "Nulla dies, sine line". Tiada hari berlalu tanpa menuliskan sebaris kalimat. 

Begitu komentar almarhum Prof Dr WIM Poli, guru besar Fakultas Ekonomi Unhas, yang tercantum di halaman belakang Lorong Waktu. Komentar itu ditulis Prof Wim empat hari sebelum dirawat di salah satu rumah sakit di Makassar.