CATATAN MUANNAS: Penculikan Anak dan Sisi Gelap Internet
PENCULIKAN berujung pembunuhan seorang bocah di Makassar, Sulawesi Selatan, 7 Januari 2023 lalu, bagai petir di siang bolong. Betapa tidak, pelakunya masih remaja dan korbannya bocah ingusan. Tersangka pelaku adalah pelajar berusia 17 tahun dan 14 tahun, sementara korbannya bocah berusia 11 tahun.
Kita terperangah, bukan saja karena pelaku dan korbannya sama-sama masih anak di bawah umur. Tapi juga motif di balik aksi kalap tersebut. Bukan motif biasa, sebagaimana kasus perkelahian hingga tawuran yang biasa terjadi di kalangan anak seusianya.
Kepada polisi, tersangka mengaku nekat melakukan aksinya karena terdorong untuk menjual organ tubuh korban di internet. Sungguh menyentak dan menyayat hati.
Transaksi jual beli organ tubuh termasuk kejahatan kemanusiaan. Dan, kejahatan kemanusiaan termasuk extraordinary crime (kejahatan luar biasa) yaitu dengan maksud untuk menghilangkan hak azasi manusia.
Hukumannya berat. Masih untung, tersangka pelaku tak sampai melakukan transaksi, gara-gara pembeli organ yang dikenalnya melalui sebuah situs di internet mendadak tidak bisa dihubungi.
Walau baginya tetap buntung, karena imajinasinya bakal menerima uang besar dari hasil penjualan organ tinggal mimpi. Tersangka tergiur iming-iming harga jual organ yang fantastis, yaitu 80 ribu dolar atau setara Rp1,2 milliar (kurs Rp 15 ribu). Inilah yang membuatnya gelap mata.
Kasus ini membuktikan sebuah sisi gelap big data internet. Big data merupakan maha data atau informasi super besar yang tersedia dalam jaringan internet. Big data bisa diakses kapanpun dan dimanapun tergantung panggilan kata kunci yang kita inginkan. Kita bisa memanggil big data itu melalui berbagai situs pencarian seperti Google, Yandex, Bing, Yahoo! Search dan masih banyak situs serupa.
Bukan saja tersedia di situs-situs pencarian, big data juga bercokol di ponsel kita dan di server pengembang media sosial. Aktivitas kita melalui smartphone, seluruh datanya akan tersimpan, seperti riwayat telepon dan lokasi. Siapa saja yang kita hubungi, tempat-tempat yang kita kunjungi, jika terkoneksi internet maka akan menjadi jejak digital yang abadi.
Di media sosial, seluruh teks, foto, infografis, video, audio, bahkan desah nafas akan tersimpan sebagai big data. Ingat, bahwa jejak digital yang kita buat di media sosial akan terekam selamanya dan tidak bisa dihapus.
Jika pun kita merasa sudah menghapusnya, maka itu hanyalah terhapus secara pribadi. Data tersebut sesungguhnya masih tersimpan dalam brankas raksasa big data. Bijaklah menggunakan media sosial agar terhindar dari jejak digital negatif.
Berderet tindak kejahatan tumbuh dari hasil menambang informasi dari internet. Itulah yang menimpa tersangka penculikan dan pembunuhan anak di Makassar.
Selain itu, sejumlah pelaku kejahatan meniru tutorial cara melakukan kejahatan dari internet. Sebagian lainnya menerima paket cuci otak, doktrin terorisme, radikalisme dan aneka rupa watak kejahatan yang terbit dari internet.
Cyber crime (kejahatan di dunia maya) bertumbuh seiring pertumbuhan teknologi internet. Informasi hoaks (bohong) bebas berkeliaran, penipuan digital, pencurian data pribadi, peretasan dan seterusnya mengintai setiap saat.
Berinteraksi dalam ruang digital membutuhkan tingkat kewaspadaan yang super tinggi. Agaknya, slogan yang pernah dipopulerkan Bang Napi tidak lagi memadai. Kejahatan terjadi bukan hanya karena adanya niat pelaku, tapi juga karena adanya kesempatan. Begitu kata Bang Napi setiap kali menutup program berita kriminal Sergap RCTI yang mulai tayang tahun 2000-an.
Bang Napi selalu tampil khas dengan topeng yang menutup sebagian wajahnya. Suaranya menggelegar dari balik setting studio jeruji besi.
Jika saja masih hidup, maka sudah waktunya Bang Napi yang memiliki nama asli Arie Hendrosaputro memperbarui slogannya. Tidak lagi cukup klaim kejahatan terjadi karena adanya niat dan juga kesempatan. Kejahatan juga bisa dipicu penggunaan internet. Dunia sedang mengalami over stimulasi disebabkan melubernya informasi di internet.
Over stimulasi membutuhkan langkah literasi digital. Tidak cukup dengan hanya tahu menggunakan perangkat digital, melainkan dibutuhkan kemampuan untuk mengolah informasi dan bertanggung jawab terhadap informasi tersebut.
Tepat tagline Tular Nalar, bukan sekadar paham. Artinya bukan hanya sekedar tahu hingga paham, tapi harus tanggap dan tangguh. Tular Nalar adalah sebuah program literasi digital yang dikembangkan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) bersama Ma'arif Institute dan Love Frankie.
Indeks literasi digital Indonesia memang masih bertengger di papan tengah. Survei yang dilakukan Kemenkominfo RI (2021) memperlihatkan bahwa indeks literasi digital Indonesia baru meraih skor 3,49 (sedang). Sementara standar posisi baik adalah skor 4,0 sampai 5,0.
Segalanya adalah internet, Internet of Thing (IoT). Segalanya ada di internet. Teknologi informasi memang penting, tapi lebih penting orang yang memanfaatkan informasi.
Ada sebuah ungkapan, who man behind the gun. Segala sesuatunya tergantung pada siapa yang menggunakannya. Jadi bukan soal ketersediaan volume data informasi yang besar di internet, tetapi bagaimana memperlakukan data dan informasi tersebut. Informasi yang benar saja bisa disalahgunakan. Apatah lagi, informasi yang tidak benar. Waspadalah dan tetap berpikir kritis atas setiap informasi !
Muannas, Wartawan, Penanggung Jawab Celebes TV, Celebes Radio, Celebesmedia.id