KOLOM ANDI SURUJI : Hukuman dan Kemuliaan

Ilustrasi - (foto by Pexels)

BANYAK warga Sulawesi Selatan terpaku menyimak jalannya persidangan putusan hukum bagi Nurdin Abdullah, Gubernur Sulsel nonaktif, yang digelar Pengadilan Tipikor Makassar, hingga larut malam.

Majelis hakim yang dipimpin Hakim Ketua Ibrahim Paliano, anggota Yusuf Karim dan Arief Agus Nindito menjatuhkan vonis bersalah melakukan tindakan pidana korupsi dengan hukuman bui 5 tahun plus denda Rp 500 juta.

Kita tentu menghormati putusan pengadilan. Tetapi proses hukum belum berakhir. NA masih memiliki hak untuk banding ke tingkat peradilan yang lebih tinggi. Kita pun musti menghargai itu.

Apa pun hasil akhir peradilan ini, proseslah yang akan menentukan. Adu argumentasi, tarung logika. Adu bukti, perang data. Ada norma dan etika hukum pula yang mewarnai setiap proses pencarian rasa keadilan di pengadilan yang mulia.

Mejelis hakim, pada tingkat peradilan mana pun, tentu akan selalu mencari bukti yang kuat dan data yang akurat agar putusannya presisi. Ada prinsip mulia di kalangan penegak hukum, dan dunia hukum, bahwa memvonis bebas orang yang bersalah lebih baik daripada menghukum orang yang tidak bersalah.

Tentu saja prinsip itu harus berlandaskan pada asas fairness. Itu sebabnya hakim harus independen. Tidak memiliki potensi konflik kepentingan dalam setiap perkara yang disidangkannya. Mereka harus teguh dalam pendirian, jernih hati nuraninya di balik jubah hitamnya, sehingga adil seadil-adilnya dalam putusannya.

Saya teringat cerita seorang wartawan senior yang mengalami tragedi keluarga. Adiknya dibunuh oleh seseorang. Media tempatnya bekerja, menugaskan wartawannya melakukan investigasi. Sang wartawan "mundur" dari ruang redaksi (newsroom) untuk memberi peluang independensi medianya.

Itulah contoh profesionalitas dan integritas dari newsroom sebuah media. Contoh lain wartawan New York Times dan Washington Post, atau Bloomberg, yang tidak pernah mau dibayarkan kopinya sekalipun walau hanya secangkir oleh nara sumbernya.

Jauh di belakang, ke masa amat lampau, kita bisa terinspirasi cerita Nene Mallomo, yang terpaksa menghukum cucunya sendiri hanya gara-gara mengambil sepotong kayu bukan miliknya. Ade' e temmakkeana, temmakkeappo (adat atau hukum tak mengenal anak-cucu). Itu prinsip hukum.

Begitu pula kisah tragis raja Luwu yang harus rela melepaskan anaknya diasingkan karena menderita penyakit menular. Ia diperhadapkan pada situasi memilih satu orang anak tetapi mengorbankan orang banyak, atau mementingkan orang banyak tapi mengorbankan satu orang anaknya. Ia memilih orang banyak (rakyat) agar tidak tertular penyakit. Lebbireng tello maegae naiyya siddi tello amporo'e.

Itu prinsip hukum, sikap kepemimpinan yang tegas dan beritegritas. Menempatkan kepentingan rakyat banyak di atas kepentingan pribadi. Mereka tentu tidak sekolah tinggi-tinggi dan jauh-jauh hingga ke negeri orang. Tetapi mereka memiliki pengetahuan, pemahaman yang luas tentang makna terdalam hidup menggenggam kekuasaan.

Dalam konteks kasus NA, banyak pelajaran yang bisa dipetik. Bukan hanya soal hukum semata. Ada banyak sisi lain, tersembunyi atau terang, tersirat maupun tersurat. Ya, dalam hal politik berkuasa dan kekuasaan, norma, dan etika. Juga tentang profesionalitas dan integritas dalam tata kelola pemerintahan berspektrum luas, sampai hubungan antar manusia.

Profesionalitas, moralitas, dan integritas seseorang, sangat mungkin mengalami degradasi bilamana berhadapan dengan situasi dan kondisi yang mengandung unsur-unsur benturan kepentingan (conflict of interest). Profesionalitas dan integritas mulai teruji manakala seseorang (siapa pun dia) berada pada posisi yang menggenggam kekuasaan untuk mengatur dan menentukan sesuatu.

Kekuasaan yang diberikan padanya untuk mengatur dan menentukan keberpihakannya semata pada kepentingan orang banyak, sering tercabik ketika berhadapan dengan kepentingan pribadi, keluarga, dan golongan atau kelompok.

Dalam sidang putusan pengadilan kasus NA semalam, majelis hakim yang silih berganti membacakan paparan fakta, data, argumentasi, logika, norma, etika, itu bertaburan contoh konkret makna penting tentang profesionalitas dan integritas tersebut.

Nurdin Abdullah bukan semata sebagai seorang gubernur, orang nomor satu di daerah ini, harus menghadapi hukuman formal berupa penjara lima tahun itu. Hukum sosial tentu tak kalah beratnya dia harus pikul karena statusnya sebagai suami, ayah, mertua, kakek, bergelar professor, dan pendidik.

Kasus NA pun menjadi catatan sejarah dalam pemerintahan, khususnya di daerah ini, karena baru kali ini seorang gubernur Sulsel harus duduk di kursi tersangka, terdakwa di pengadilan, yang berujung berstatus terpidana. Ini pengalaman pahit, sekaligus pelajaran penting bagi pemimpin muda, dan calon pemimpin daerah di masa mendatang.

Noblesse Oblige, kata orang Perancis. Pada setiap jabatan (kekuasaan) melekat kehormatan (tanggung jawab). Tetapi kekuasaan yang mengutamakan keserakahan dan mengabaikan kehormatan bisa berakhir kenistaan (humiliate).

Pesan Bugis bilang, issengngi alemu, tanreangngi siri mu, mutuwo mallongi-longi. Kenali dirimu (tahu batas), jaga harkat dan martabatmu setinggi mungkin, supaya mulia hidupmu.