KOLOM ANDI SURUJI : Pahlawan, Bersabarlah.....!
HARI ini tanggal 10 November. Di Indonesia, setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Pahlawan untuk mengenang jasa pahlawan kusuma bangsa. Mengingat kembali heroiknya perjuangan mereka yang berdarah-darah sampai korbankan jiwa.
Mereka tulus ikhlas memenuhi panggilan jiwa ibu pertiwi demi kemerdekaan. Ada spirit heroisme dan nasionalisme di sana. Berkelindan, bergejolak, membuncah, meluap-luap tak terbendung tanpa rasa takut setitik pun.
Persembahan tertinggi dan terhormat, demi untuk sebuah bangsa yang besar, kuat, kokoh, berdiri tegak sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Bukan bangsa kropos, pengemis, penjilat, pecundang.
Memeringati Hari Pahlawan tak sekadar datang ke Taman Makam Pahlawan, menggelar ritualitas upacara seremonial. Berhening cipta beberapa detik, lalu tabur bunga.
Setelah itu, kita kemudian tebar pesona, tebar video, tebar foto selfi-selfi, tebar meme melalui media sosial. Makin banyak respon dari penduduk dunia maya itu kian heroik rasanya.
Heroisme dan rasa kebangsaan, nasionalisme, tidak dibangun dengan cara seperti itu. Tetapi bertindak nyata di setiap jengkal ruang gerak dan tarikan nafas. Apa pun posisi, jabatan, kewenangan kita.
Gunakanlah posisi, jabatan dan kewenangan secara heroik untuk sebuah nasionalisme itu. Heroik menolak suap, heroik menolak penyalahgunaan jabatan dan kewenangan.
Hadirkan pemberontakan dalam diri. Memberontak terhadap penyalagunaan kewenangan. Memberontak terhadap suap, sogok-menyogok, kongkalikong, cincai, dedde kulantuk.
Suntikkan semangat melawan kemiskinan, keberpihakan pada bangsa, pembelaan terhadap yang papa, pada setiap ujung pena tandatangan kebijakan.
Itulah heroisme, kepahlawanan, masa kini. Era di mana bangsa ini tidak lagi harus memanggul senjata, bahkan bambu runcing sekalipun, untuk mengusir penjajah dan penjajahan di muka bumi nusantara ini.
Sudah era digital, di mana modus penjajahan era kolonialisme, menginvasi, aneksasi, dan okupasi, tidak ada lagi. Telah berubah wujud melalui remote control yang dikendalikan di negara imperialisme.
Keterjajahan kita sebagai bangsa saat ini, bukan karena penjajah datang ke mari, lalu lalang di hadapan kita. Keterjajahan kita karena ketertinggalan kita. Dalam segala hal. Terutama dalam hal ekonomi. Sektor pangan, kesehatan, apalagi teknologi.
Kita babak belur mengahadapi serangan pandemi Covid-19. Semua alat tes dan instrumen kesehatan terkait penanganan virus itu harus kita impor. Kita pun harus membelanjakan ratusan triliunan rupiah kita untuk menyelamatkan nyawa bangsa untuk mengimpor semua itu. Termasuk vaksin.
Kita tertinggal. Kita terjajah. Kita miskin dan papa dalam urusan itu. Kita sibuk berwacana, saling pukul, saling curiga, saling gencet, saling ganjal. Kita terlalu tunduk dan hormat pada organisasi dunia yang lebih berpihak dan menjadi agen imperialisme ekonomi.
Kita tidak berani menolak sabda mereka. Keluh lidah dan mulut kita untuk berteriak lantang, "persetan dengan kalian. Ini bangsa saya. Right or wrong this is may country...." Kita terjajah.
Orang yang berupaya menjadi pahlawan bangsa, digencet, dijepit, ditindih, dikriminalisasi dengan berbagai cara. Halus maupun kasar. Senyap maupun terang-terangan.
Siapakah pahlawan hari ini? Kaum miskin yang berjuang untuk diri dan keluarganya. Merekalah pahlawan. Mencari sesuap nasi untuk bertahap hidup untuk hari ini. Esok entahlah... Sampai terbit matahari, juga belum jelas. Bahkan dalam mimpi pun tidak.
Para tenaga kesehatan. Mereka juga bergelut di ruang-ruang operasi, unit gawat darurat. Mengabaikan dan meninggalkan keluarga untuk berjuang menyelamatkan jiwa bangsanya. Jutaan orang terselamatkan. Bahkan banyak di antara mereka yang justru menjadi korban.
Jika ada penghargaan kehormatan kepahlawanan dari negara, berikanlah kepada Nakes. Janganlah kita tampil di forum internasional bertepuk dada, memuji diri sendiri, prestasi kita, lalu berucap terima kasih kepada para nakes di forum terhormat itu kita lupa.
Negara mungkin tidak mampu memberi mereka bonus sefantastis hitungan rupiah bagi para atlet peraih medali olimpiade karena jumlah mereka banyak.
Tetapi jangankan bonus. Hak berupa honor saja negara berutang kepada mereka. Ada pembayaran, eh malah salah transfer pula. Ada yang dobel transfer. Sudah begitu, diminta dikembalikan pula. Oh nasibmu pahlawan Covid.
Bersabarlah. Boleh jadi kalian menangis membaca laporan media, bagaimana meriahnya pesta pora para pembantu presiden, menikmati keuntungan besar beribu-ribu kali lipat dari honormu yang bahkan sebagian belum terbayar itu.
Keuntungan besar mereka dapat dari keterlibatannya dalam bisnis test PCR, antigen, dan peralatan medis lainnya. Padahal itu semua kalian gunakan dalam perjuangan menyelamatkan manusia dan harkat kemanusiaannya.
Pengusaha berbinis tidak masalah. Tidak haram. Halal. Malah harus didorong agar untung dan membayar pajak. Tetapi kalau pengusaha dan pejabat sekaligus, apalagi yang berkelindan erat antara bisnisnya dan jabatannya, entahlah apa namanya.
Pasti ada benturan kepentingan. Rasa dan perasaan keadilan kita harusnya sangat terusik. Terkecuali kalau rezim pemerintahan ini memang sudah mati rasa atas penderitaan rakyat. Ya, wassalam...