KOLOM ANDI SURUJI : Sulsel Surplus Beras, Petaninya Defisit

Ilustrasi Petani - (foto by Pexels)

SULAWESI Selatan menduduki peringkat pertama provinsi yang surplus beras. Kelebihan komoditas utama pangan itu 2,08 juta ton, tertinggi di Indonesia.

Begitulah informasi yang kita peroleh dari media sosial Gubernur Sulsel Andi Sudirman. Ia mengutip data Badan Pusat Statistik. 

Pencapaian ini tentu patut dicatat, digarisbawahi. Diapresiasi, terutama kepada para petani yang senantiasa setia menanam dan terus menanam.

Surplus bisa dicapai tentu karena produktivitas lahan yang semakin meningkat secara signifikan. Walaupun peningkatan kebutuhan sendiri juga naik seiring penambahan populasi.

Apalagi kalau diperhitungkan adanya pengurangan luas lahan karena konversi untuk keperluan lain. Misalnya, untuk perumahan, properti, industri, dan infrastruktur. 

Selain itu, peningkatan produktivitas yang berujung surplus, tentu juga ditopang faktor teknologi pertanian yang semakin maju. Pra tanam hingga pasca panen. 

Penyediaan benih yang baik dan bermutu tinggi, serta ketersediaan pupuk dan imputan lainnya, terutama irigasi yang tangguh, adalah faktor penentu.

Kebutuhan air, benih, pupuk, harus tersedia dalam jumlah yang tepat. Ya tepat waktu, tepat jumlah, sesuai kebutuhan petani. Manakala salah satunya tersendat ketersediaannya, maka proses produksi menjadi tidak efisien. Hasil tidak optimal.

Berterimakasihlah kepada para petani. Tetapi bagaimana caranya berterima kasih? 

Paling utama menjaga semangat petani untuk terus menanam dan menanam. Bagi mereka, tanpa menanam, jangan pernah berharap akan memanen. Tiada panen tanpa tanam.

Menjaga semangat petani untuk terus menanam, harus tercermin dalam upaya penyediaan air dengan irigasi yang tangguh. Benih dan pupuk tersedia tepat jumlah, tepat harga, tepat waktu pada saat mereka membutuhkannya.

Tetapi, paling pertama dan utama ialah menjaga daya beli petani agar tidak terpuruk. Caranya, harus ada upaya keras dan ekstra untuk stabilisasi harga input dan output mereka. 

Ketika petani membutuhkan input (benih, pupuk, dan lainnya) lantas tidak tersedia tepat jumlah dan tepat waktu, alias terjadi kelangkaan, otomatis harga melonjak dan mahal. Sementara ketika musim panen tiba, harga komoditas petani anjlok. 

Hal inilah yang patut dikemukakan dan diingatkan kepada pemegang otoritas. Mari kita telusuri data BPS juga. Sejak Desember 2019, Nilai Tukar Petani (NTP) sektor tanaman pangan, hampir selalu dan terus menerus di bawah angka 100. Ada satu dua bulan saja yang di atas angka itu. 

Artinya, petani tanaman pangan di Sulsel tekor alias defisit dalam menjalankan usaha pertaniannya. Mengapa bisa terjadi? 

NTP adalah salah satu indikator kesejahteraan petani. Nilai tukar membandingkan antara indeks harga yang harus dikeluarkan dan indeks harga yang diterima. 

Jika indeks harga yang diterima petani lebih rendah dari indeks harga yang dikeluarkan (belanja) maka NTP pasti di bawah 100. Itulah yang dimaksud petani tekor alias defisit dalam usaha tani.

Inilah yang harus dijaga oleh pemerintahan Andi Sudirman, agar NTP petani pangan Sulsel kembali di atas angka 100, setelah tiga tahun terus terpuruk.

Bukan surplus beras yang harus dibanggakan, tetapi kebanggan dan kehormatan tertinggi ialah manakala NTP sektor pangan (wabilkhusus padi) selalu terjaga di atas  angka 100. 

Surplus beras bersamaan kesejahteraan petani meningkat (NTP jauh di atas angka 100) itulah penghargaan dan apresiasi tertinggi kepada petani. Faktanya, surplus beras di Sulsel ternyata tidak linier dengan kesejahteraan petani. Buktinya, NTP data BPS, indikator yang memang dirancang negara, tersebut. 

Surplus bisa saja tercapai karena keterpaksaan petani menanam dan terus menanam padi. Karena tidak ada alternatif pilihannya. Surplus besar hanya menggelembungkan brankas para pedagang perantara komoditas input dan output petani. 

Ambil semua kebanggan dan kehormatannya pencapaian surplus beras, tetapi ulurkan dulu tanggung jawab dan berikan kepastian kesejahteraan yang menjadi hak petani. 

Pada setiap kehormatan melekat tanggung jawab. Noblesse oblige.