KOLOM ANDI SURUJI : Enika dan Moralitas Mahasiswa

Ilustrasi - (foto by Pexels)

MENGGEMBIRAKAN membaca berita Mahkamah Konstitusi memutuskan menghapus ambang batas atau presidential threshold dalam persyaratan pengajuan pencalonan presiden dan wakil presiden.

Artinya, semua partai politik bisa mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Tidak lagi seperti yang berlaku sekarang. Hanya parpol pemilik 20% dari total kursi di parlemen (DPR). Atau pemilik 25% suara sah nasional dalam pemilu legislatif sebelumnya, (Tribun Tumur, 3/1/2025).

Luar biasa bukan. Putusan itu jelas akan merombak tatanan politik secara substansial. Harus dilakukan rekayasa konstitusional. Menyelaraskan persyaratan undang-undang pemilu dan mempertimbangkan hak politik serta kedaulatan rakyat yang hilang karena persyaratan pembatasan tersebut.

Kegembiraan saya bukan karena putusan an sich. Tetapi, prosesnya yang lahir dari permohonan judicial review mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Ya, mahasiswa, Enika Maya Oktavia dan kawan-kawan.

Hebatnya, mereka tidak perlu turun ke jalan berpanas-panasan unjuk rasa. Apalagi sampai berdarah-darah digebuki aparat keamanan. Padahal hanya untuk menyalurkan aspirasinya. Memperjuangkan sesuatu yang diyakininya benar.

Enika cs hanya menggunakan kejernihan pikirannya, moral dan intelektualitasnya. Bukan otot dan kebringasannya. Untuk dapat mengubah secara subtansial permasalahan kebangsaan, tatanan politik, dan ketatanegaraan. Juga tentu  prosedur dalam sistem demokrasi yang sedang dikembangkan bangsa ini. Democracy in the making process.

Saya mengapresiasi mereka karena dalam kolom sebelumnya saya menggugat moralitas kampus. Tentu saja semua unsur kampus perguruan tinggi. Civitas akademika.

Sekadar menyebut beberapa, seperti dalam kolom terdahulu. UIN Alauddin dilanda isu pembuatan uang palsu. Unhas diterpa berita pelecehan seks.

UNM mengejutkan dengan berita narkoba. UMI digoncang kabar korupsi atau penyalahgunaan keuangan lembaga.

Moralitas macam apa yang terjadi di kampus-kampus itu. Degradasi moral seperti apa yang berlangsung di mercu suar kemanusiaan itu. Kebobrokan moral dan intelektualitas macam apalagi yang bakal kita tonton dari kampus-kampus.

Enika cs telah mereduksi emosional dan apriori saya terhadap kampus yang terkesan semakin komesial dan hedon. Menjadi pabrik tenaga pengangguran karena lulusannya under competence dan less capacity.

Di benak saya, Enika yang saya tidak kenal sama sekali, telah mengangkat kembali moral mahasiswa dalam perjuangan kebangsaan, ketatanegaraan, dan demokrasi. Tentu juga maruah kampus sebagai gudang intelektual, excellent center, pusat peradaban dan humanitarian.

Di tengah rasa apriori pada sebagian politisi yang terkesan hanya memperjuangkan kepentingan golongan dan partainya, cacat hukum dan moralitas, meninggalkan rakyat dan konstituen setelah terpilih dalam jabatannya, Enika adalah oase.

Enika cs mata air yang membasahi dahaga kehausan kita dalam mengharap bangkitnya kembali kampus sebagai penjaga konstitusi. Sumber inspirasi penegakan moral bangsa, tatanan politik dan ketatangeraan Indonesia.

Anak-anak itu menyadarkan kita bahwa  mercu suar kampus masih menyala, menavigasi masyarakat ke arah masa depan. Kita masih boleh memelihara asa pada mahasiswa untuk juga berperan signifikan dalam mengubah perilaku menyimpang di kampus maupun di luar kampus.

Persoalan bangsa bukan hanya konstitusi, demokrasi, pemilu, tetapi juga persoalan hukum dan penegakan hukum yang semakin tipis rasa keadilannya. Korupsi yang semakin merajalela dari hulu sampai hilir. Serakah tanpa rasa puas.

Ketimpangan sosial ekonomi kian menganga. Ketidakadilan yang semakin kuat menyulut konflik sesama anak bangsa.

Bangsa Indonesia semakin sibuk berkonflik, berebut kekuasaan, berebut kekayaan alam untuk kepentingan memperkaya diri dan keluarga.

Sementara bangsa lain terus berpacu dalam mencetak prestasi, inovasi teknologi untuk kemakmurannya.

Artikel ini telah tayang sebelumnya di Tribun Timur, edisi  Sabtu 4 Januari 2015