Ilustrasi ular piton - (foto by Pexels)

HARIAN Tribun Timur edisi Senin 26 Desember 2022, menempatkan berita berjudul "Sulsel Darurat Piton..." sebagai headline halaman depan. Nama ilmiah ular piton disebut malayopithon reticulatus.

Berita itu dihimpun dari peristiwa di berbagai wilayah, dan pernyataan otoritas kedaruratan. Salah satu instansi yang disibukkan masyarakat dengan kemunculan ular piton secara masif, ialah Dinas Pemadam Kebakaran (Damkar). 

Tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Damkar tentu saja memadamkan kebakaran. Akan tetapi, tupoksinya sudah meluas atau diperluas. Termasuk membantu masyarakat mengatasi gangguan keamanan dan ketertiban umum, bahkan kasus khusus seperti bermunculannya ular-ular piton di area pemukiman masyarakat. 

Ular piton muncul di berbagai daerah selama musim hujan yang berdampak banjir. Air membawa ular, atau mungkin ular memanfaatkan air. 

Ekosistem mereka terganggu, sehingga tempat berdiam dan bermukim selama ini tidak nyaman lagi. Piton mencari tempat nyaman dan aman. 

Kalau ular saja merasa terganggu dengan banjir, tentu lebih tidak asik lagi bagi hidup ribuan manusia yang terdampak air bervolume besar itu. Akan tetapi, ular bisa seenaknya pergi meninggalkan zona nyamannya. Sementara manusia tidak demikian. Banyak faktor pertimbangan sebelum pergi dari rumahnya. 

Karena itu, akal sehat kita sangat terganggu jika ada pejabat yang mengatakan luapan air bukan banjir tetapi hanya genangan. Padahal tinggi air sudah hampir setinggi plafon rumah. 

Rasa perasaan kita pun sangat terusik ketika rumah dan area bermukim warga yang tergenang seolah disalahkan pejabat. Apalagi solusi yang ditawarkan nyaris tak masuk akal. Misalnya membangun rumah bertingkat.

Ini merupakan pernyataan aparat yang kurang bijaksana. Asal bunyi (asbun). Sulit dibedakan antara berbicara dan sedang kumur-kumur. Jangan sampai ada pejabat yang bilang silakan banyak-banyak berdoa agar tidak didatangi ular. 

Fenomena bermunculannya piton, jangan-jangan sebenarnya merupakan peringatan alam kepada manusia. Bahwa di alam dunia kita sekarang, manusia tak ubahnya ular-ular itu. 

Apalagi memang ada kesamaan sifat antara manusia dan ular. Malas bergerak, malas bekerja. Lebih senang berdiam diri. Menunggu mangsa melintas di depannya. Dengan sigap mangsa disergap. Digigit dan dililit hingga remuk, lalu dilahap segalanya. 

Karena itulah mungkin, orang yang berperilaku culas, malas, suka memangsa sesama, dilabel sebagai ular. Bukankah sudah lama analogi itu sudah ada sejak lama di tengah masyarakat. 

Bisa jadi, ular-ular itu bermunculan di pemukiman warga, membawa peringatan bahwa semakin banyak manusia yang bersifat ular. Bahkan terkadang manusia jauh lebih sadis dari ular. 

Naluri kebinatangan (nafsu hewani) manusia dan ular sama saja. Akan tetapi yakinlah, ular tidak punya naluri kemanusiaan. Ular tidak punya akal. 

Maka sangat naif jika kemudian warga hanya sekadar diimbau waspada terhadap kehadiran ular-ular itu, waspada banjir. Padahal, sebelum datangnya musim hujan, seharusnya ada upaya antisipasi. 

Tidak mungkin mencegah terjadinya banjir karena faktor hujan. Pawang hujan memang dikenal bisa bekerja untuk mengalihkan atau menunda turunnya hujan. Tetapi manusia takkan kuasa menahan jatuhnya air hujan selamanya atau terus menerus. Sudah kodratnya. 

Meski demikian, manusia selalu diajarkan untuk menggunakan akal, termasuk mengelola dan menyiasati alam. Karena itu, setidaknya ada upaya manusia yang berkesinambungan dan secara substansial dan konsisten memperbaiki ekosistem yang rusak sebagai penyebab banjir. 

Yang banyak kita lihat, pemerintah di daerah baru sibuk, bahkan cuma pura-pura seolah-olah sibuk, mengurus rakyat kalau sudah kebanjiran, pohon tumbang, termasuk bermunculannya piton, kebakaran dan bencana lingkungan lainnya. 

Padahal segala dampak pembangunan terjadi karena sistem tata kelola alam, ekosistem, compang-camping. Ngawur dalam memberikan izin pemanfaatan lahan dan mendirikan bangunan di hilir. Asal-asalan mengeluarkan izin pemanfaatan hutan dan lahan di hulu. 

Banjir dalam kota atau pemukiman misalnya, terjadi  karena desain sistem drainase yang amburadul. Bangunan mengabaikan kesesuaian kapasitas dan fasilitas, mencampakkan faktor kalkulasi daya dukung lahan, dan sebagainya. 

Akibat lanjutannya, ekosistem dari hulu hingga di hilir terganggu. Sekadar untuk kepentingan jangka pendek setoran pendapatan daerah, dan recehan tambahan uang saku aparat. Tetapi mengorbankan kepentingan manusia jangka panjang, rusaknya ekosistem, lingkungan dan alam rahmat Tuhan untuk seluruh umat manusia. 

Boleh jadi ular-ular piton itu bermunculan untuk menampakkan dirinya sebagai pesan dan peringatan. Ya, pesan dan peringatan untuk menjaga keseimbangan alam serta keharmonisan makhluk hidup. 

Pesan dan peringatan ular kepada sesamanya, yakni manusia yang bersifat ular, culas, malas bekerja  dan enggan berfikir.