KOLOM ANDI SURUJI : Ketika Anak Gen Z Ogah Jadi Pegawai Negeri
RATUSAN calon pegawai negeri sipil atau aparatur sipil
negara dikabarkan mengundurkan diri. Padahal mereka telah dinyatakan lulus dari
seleksi penerimaan yang digelar tahun 2021.
Alasannya, gaji dan tunjangan kecil, tidak sesuai ekspektasi
mereka. Karena itu mereka merasa kehilangan motivasi. Jumlah yang dilaporkan mundur
lebih 100 orang.
Menurut data Badan Kepegawaian Negara, ada juga Pegawai
Pemerintah dengan Perjanjian Kontrak (PPPK) untuk formasi guru dan non-guru
yang mengurungkan niatnya bekerja di pemerintahan itu. Jumlah mereka lebih
banyak lagi, 442 orang.
Tentu saja berita ini menjadi isu nasional. Ratusan ribu,
bahkan mungkin bilangan jutaan orang lainnya berharap dan berebut bisa menjadi
pegawai yang mendapat gaji dari negara. Di tengah sulitnya mendapat pekerjaan
tetap. Eee ada yang mengundurkan diri justru setelah mereka dinyatakan lulus
seleksi.
Bukankah menjadi pegawai negeri bisa hidup enak. Malas rajin
sama saja. Kerja seadanya berharap dapat gaji dan tunjangan sepenuhnya. Bahkan
kelak ada uang pensiun seumur hidup yang akan ditanggung negara.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
(PANRB) Tjahjo Kumolo tentu berkepentingan merespon fenomena mundurnya sejumlah
calon pegawai negara itu.
Kata aktivis pada eranya, menjadi pegawai negeri sipil
adalah suatu panggilan pengabdian kepada negara. Prinsip pengabdian adalah apa
yang dapat mereka berikan kepada negara, bukan sebaliknya.
"Konsekuensinya gaji relatif kecil sebagai insentif.
Namun menurut saya, dengan adanya tunjangan kinerja atau tambahan penghasilan
pegawai era sekarang, total sudah mengimbangi swasta bahkan lebih besar karena
di atas UMR (upah minimum regional)," katanya, seperti dikutip Kompas.com.
Tetapi Tjahjo juga akui, saat ini orang yang tertarik
menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) semakin minim. Faktor penyebabnya, konsep
kerjanya tidak mengikuti era generasi milenial yang lebih fleksibel.
"Seiring dengan waktu, jiwa pengabdian sebagai ASN ini
makin terasa menurun. Konsep pembinaan pegawai tempo dulu yang menjamin jenjang
karir hingga jabatan tertinggi, sudah tak sepenuhnya relevan," katanya.
Itu betul. Zaman memang berubah. Generasi milenial merasa
asing dengan konsep pengabdian ini. Tidak logis bagi mereka.
Pengabdian bisa terbangun jika dibarengi sistem remunerasi
dan kejelasan masa depan karir. Ketika sistem kerja, remunerasi, dan karir
tidak jelas, maka jangan heran jika pegawai negeri berusaha mencari tambahan
penghasilan. Menjadi pegawai negeri hanya sebagai status sosial.
Mereka berpakaian seragam datang ke kantor bekerja, tetapi
lebih banyak mengerjakan side job.
Menjalankan bisnis online sebagai reseller misalnya, untuk mendapatkan
tambahan penghasilan. Bisa lebih besar dibanding gajinya sebulan sebagai pegawai
negeri.
Sebenarnya, perilaku ini juga tergolong perilaku korup. Ya
korupsi waktu. Tetapi itu masih lebih baik dibanding perilaku yang memang di
kepalanya cuma memikirkan segala macam modus operandi, mengakali anggaran agar
sebagian mengalir ke kantor pribadi.
Morning Consult, sebagaimana dikutip CNBC, 70% Gen Z
(generasi sesudah kelompok usia milenial) memprioritaskan gaji yang layak.
Sebanyak 60% Gen Z memprioritaskan karier yang sukses.
Gen Z, Gen Y (milenial) dan Gen X, semua pengguna internet. Menurut
sebuah penelitian, Gen Z (generasi mobile), sekitar 93,9% terkoneksi ke
internet. Dikategorikan sebagai addicted user yang menggunakan internet tujuh
jam per hari.
Gen Y atau milenial (generasi internet), sekitar 88,4%
terkoneksi internet, dikategorikan heavy user. Menggunakan internet sekitar 4-6
jam sehari. Sementara Gen X (Digital Immigrant), sebanyak 63,2% terkoneksi
internet. Dikategorikan medium user dengan menggunakan internet 1-3 jam pernah
hari.
Internet adalah nafas kehidupan generasi mereka. Dengan
internet mereka bisa lebih produktif berkarya, menghasilkan uang, independen,
dan happy.
Saya pernah diantar seorang sopir angkutan online di Jakarta
yang masih muda. Penampilan necis, pakaian rapih. Saya kira mahasiswa, ternyata
sarjana teknologi informasi.
Dia mengaku pernah kerja di salah satu perusahaan. Gajinya
sekitar tujuh juta. Dia tinggalkan, dan mendaftar sebagai sopir angkutan
online. Tetapi itu hanya untuk mencari uang bahan bakar dan makan serta
angsuran cicilan mobilnya.
Penghasilan utamanya dari mengerjakan pekerjaan terkait TI, yang disubkontrakkan
pihak lain. Pekerjaan itu dapat dikerjakannya sendiri di mana saja. Makanya ia
selalu membawa laptop di mobilnya.
Penghasilannya? "Lebih dari cukup Pak. Bisa nabung
malah asal pandai berhemat," katanya.
Itu kan tidak terjamin kontinuitasnya. "Awalnya memang
cemas-cemas juga. Tetapi setelah ada pengalaman, sudah ada portofolio, ada saja
tawaran yang datang. Orang seperti saya ini banyak, sudah kayak jaringan,
saling tahu, bertukar info, dan saling cari kalau ada tawaran kerjaan,"
paparnya.
Di zaman serba internet ini, cerita "pengabdian"
pegawai negeri, dan heroisme "apa yang kamu berikan kepada negara"
perlu dirumuskan ulang. Strategi pengelolaan pegawai negeri, dari rekrutmen,
jenjang karier, remunerasi, sistem reward dan punishment, mendesak untuk
diformulasi kembali.