KOLOM ANDI SURUJI : Alfatihah di Lampu Merah

HUJAN deras mengguyur Makassar sepanjang hari ini. Mager (malas gerak) kata anak milenialku, biasanya kalau cuaca begini. 

Nyalakan tv, mau nonton aksi si Charlie, anak pegolf top Tiger Wood, yang turun berpasangan ayahnya. Ah jaringan pun error. 

Panggil teknisi. Syukur cepat datangnya. Dua orang. Satu pake masker satu tidak. Saya kasi masker. Sekalian sodorkan hand sanitizer, baru mereka masuk rumah. 

Sementara teknisi beraksi, membetulkan jaringan tv kabel itu, masuk pesan di whatsapp. Rupanya ada undangan resepsi pernikahan. Weh sudah berlangsung dan tertera hanya sampai pukul 14.00 Wita. 

Begitu pekerjaan teknisi selesai, dan pergi dengan tip untuk makan siang, saya cepat-cepat ganti baju untuk ke undangan resepsi. Di hotel yang tak jauh dari rumah. Makan siang di sana, pikirku. Amplop sudah disiapkan, buat mempelai.

Tapi hujan tambah deras. Disertai angin bertiup kencang. Dahan dan ranting pohon bergerak tak keruan. Di sepenggal jalan menuju hotel, hujan makin deras. Lalu lintas macet. 

Kemacetan di ruas jalan itu, persis sama kondisinya saat belum terjadi pandemi Covid-19. Kendaraan tidak seberapa. Tetapi jalan menyempit. Pengendara saling serobot. Semua mau duluan. Tidak mau sabar, memberi kesempatan kepada yang lainnya. Padahal kalau sabar beberapa menit saja, arus kendaraan pasti lancar. 

Tetapi itulah kondisi masyarakat pada umumnya. Yang kuat menyerobot akan mendapatkan apa yang dia mau. Tak peduli merampas hak orang lain. 

Saya memilih sabar antre. Tidak bergerak. Yang menyerobot lolos saja cepat lepas dari mulut botol kemacetan. Akhirnya saya lolos juga. Tetapi sudah terlambat tiba di hotel tempat resepsi. Orang sudah bubar. Pengantin sudah tinggalkan lokasi. 

Saya pun melangkah lunglai keluar hotel menuju mobil kembali. Saya melaju pergi ke tempat lain. Memang ada keperluan lain. 

Dalam perjalanan langit gelap gulita. Hujan konsisten mengguyur deras. Angin masih kencang. Wiper saya setel di posisi tiga agar cepat menghapus air di kaca depan mobil. Pengendara pun pelan. 

Pada sebuah perempatan jalan, saya kena giliran lampu merah. Tiba-tiba ada seorang anak laki-laki berdiri di samping mobil. Mendekatkan kepalanya pada kaca jendela. 

Pengamen pikirku. Tapi ia tidak meminta uang. Saya menengoknya. Ia pun menatapku. Ia lalu melantunkan Surah Alfatihah.

Saya pun mencari-cari uang recehan di tempat biasa menyimpannya. Tidak ada rupanya. Saya berpikir, mau sekali memberinya uang. 

Tiba-tiba perut kasi kode, saya lapar rupanya, belum makan. Bukan rejeki makan di pesta. Padahal saya tahu hotel itu enak masakannya. 

Jangan-jangan anak ini juga lapar belum makan seperti saya, pikirku. Saya masih lebih baik karena di dalam mobil. Pakai jas pula. Dia di luar, kedinginan, basah kuyup diguyur hujan. 

Teringatlah saya amplop untuk penganten yang tidak jadi saya serahkan. Ah... saya ambil dari saku. Saya sobek amplopnya dan ambil selembar. 

Saya julurkan uang itu lewat jendela kaca yang saya buka sedikit agar air hujan tidak masuk mobil. "Ambillah..." kata saya sembari mengangguk. 

Akan tetapi tangan anak itu tak bergerak meraih uang yang saya sodorkan. Ia hanya menatapku sembari melanjutkan bacaannya. Setelah bacaannya selesai, ia baru meraih uang itu dan mengucapkan terima kasih. 

Saya tiba-tiba merinding. Bulu roma bergidik, kata orang. Perjumpaan saya dengan anak itu mengajarkan hikmah yang luar biasa. 

Mecet parah, saya terlambat tiba di resepsi. Pengantin bubar, amplop tidak jadi saya serahkan. Saya pun tidak jadi makan, padahal sudah lapar. 

Jumpa anak itu, mungkin dia juga lapar seperti saya. Tidak ada uang receh untuknya, otak saya mengingat amplop pengantin. Tangan saya bergerak menyobek amplop. Anak itu bukannya mendapat uang recehan, tetapi uang besar yang nilanya mungkin nanti setelah seratus orang atau lebih yang memberinya koin recehan. 

Demikianlah Tuhan mengatur rezeki anak manusia. Andaikan tidak macet, mungkin saya tidak jumpa anak si pelantun Alfatihah itu. 

Demikianlah cara Tuhan memberi pelajaran kepada kita. Pertama kali dalam hidupku, menjumpai pengamen membaca Alquran. Ya, Alfatihah di lampu merah di bawah guyuran hujan deras.