CELEBESMEDIA.ID, Makassar – Bosan dengan hiruk kebisingan
kota Makassar? Tidak ada salahnya menepi untuk menikmati suasana tenang dengan
udara sejuk di pinggiran kota. Bagi Anda yang menyukai tempat tenang untuk
healing, ekowisata Lantebung bisa menjadi salah satu referensi berakhir pekan.
Terletak di Kelurahan Bira, Kecamatan Tamalanrea, Kota
Makassar, Sulawesi Selatan, wisata ini akan menawarkan suasana tenang bagi
pengunjungnya. Pemandangan hijau hutan bakau (mangrove) terbentang sejauh mata memandang
yang akan memanjakan mata. Di tengah magrove ada lajur yang sengaja dibuat
untuk pengunjung yang ingin menikmati suasana sambil berjalan kaki. Jalur
tersebut dicat berwarna –warni, membuat tempat wisata itu semakin instagramable.
Wisata Mangrove Lantebung berada di pesisir Utara kota
Makassar dengan luas kurang lebih 30 hektar. Selain jalur bagi pejalan kaki, ada juga pondokan kecil dan gazebo untuk
beristirahat. Pengunjung bisa berjalan-jalan atau bersantai sambil menikmati
panorama hutan mangrove dan laut.
Ada cerita menarik dibalik indahnya tempat wisata ini. Siapa
sangka jika di lokasi tersebut dulunya tak sehijau sekarang. Saraba salah
seorang tokoh masyarakat di daerah itu menceritakan penanaman mangrove di
Lantebung dimulai sekitar tahun 1982. Namun awalnya proses penanam itu tidka
berjalan mulus karena banyak pihak menentangnya.
“Saya memulai sedikit demi sedikit. pada waktu itu tiap kali
menanam, saya dilarang oleh masyarakat di daerah sendiri bahkan keluarga pun
tidak merestui tetapi walaupun dilarang, saya tetap menanam tiap tiap ada waktu
luang sampai saat ini," ujarnya kepada CELEBESMEDIA.ID.
Beruntung akhirnya usahanya membuahkan hasil saat beberapa
komunitas turut serta dalam penanam mangrove tersebut.
"Sudah banyak komunitas masuk membantu. di tahun 2006
saya membawa masyarakat Lantebung untuk masuk studi banding di Sinjai, yaitu
Desa Tongke-tongke. Supaya, bagaimana masyarakat Lantebung ini terbuka
wawasannya agar bisa melihat perkembangan Desa Tongke-tongke sehingga menjadi
wisata mangrove,” lanjutnya.
Meski demikian, penanam mangrove pun tidak langsung
berhasil. Sebab banyak dari bibit yang ditanam justru mati karena menurut
Saraba salah waktu menanam.
"Sebenarnya akhir tahun bukan waktu yang tepat untuk
penanaman untuk mangrove. Jadi waktu penanam mangrove yang tepat itu di bulan
Mei sampai bulan November. Jadi bulan November itu kita sudah istirahat menanam
dan penanaman berikutnya lanjut di bulan yang sama yaitu bulan Mei"
tuturnya.
"Penanam yang gagal total itu hanya berada di ujung
selatan. yang tumbuh hanya sekitar 10ribu sedangkan yang di tanam itu sebanyak
30ribu,” jelasnya.
Hamparan hutan bakau ini bukan hanya menjadi objek wisata,
tapi juga lokasi warga mengais rezeki dengan mencari kepiting. Hutan mangrove
yang terjaga baik jadi habitat kepiting dan kerang berkembang biak.
Selain itu kehadiran hutan bakau ini juga telah
menyelamatkan kawasan tersebut dari banjir dan angin puting beliung.
"Kampung Lantebung pernah kejadian angin puting beliung
dan banjir rob pada tahun 1977. Disitu saya mulai belajar karena kejadian
tersebut disebabkan oleh tidak adanya mangrove, terutama rumah saya sendiri
roboh, jadi rumah yang berada di pinggiran pesisir hampir rata dengan
tanah," tutupnya.
(Laporan: Irfan
Iskandar UMI)