KOLOM ANDI SURUJI : Di Balik Mundurnya Misnah dari Ketua KPU Sulsel

Misnah Attas - (foto by sulsel.kpu.go.id)

TRIBUN TIMUR menurunkan breaking news, Misnah Attas mengundurkan diri dari jabatan Ketua Komisi Pemilihan Umum Sulawesi Selatan.

Saya membagikan tautan berita itu ke beberapa grup whatsapp. Ada yang berkomentar tidak perlu breaking karena cuma Ketua KPU Sulsel yang mundur. Itu opini pembaca.

Tentu lain pula pandangan Tribun sehingga membandrol informasi itu sebagai breaking news. Ada sesuatu.

Celebesmedia.id menayangkan juga berita itu. Mengejutkan, menurut dia. Alasannya, ada 12 daerah yang akan menggelar pilkada serentak pada tahun depan.

Belum jelas betul alasan pengunduran diri Misnah. Komisioner KPU lainnya pun, menurut Tribun Timur, belum ada yang mau bicara untuk menjelaskan duduk perkaranya.

Apakah Misnah melakukan kesalahan fatal, atau ada persoalan prinsipil, yang mendorongnya mundur. Bisa salah satunya, bisa juga dua-duanya sebagai faktor penyebabnya.

Saya sendiri tertarik dengan berita itu. Langkah mengundurkan diri dari jabatan penting, adalah tindakan langka di tengah kondisi masyarakat yang berebut jabatan, rakus kekuasaan, dan haus pengaruh.

Orang saling sikut, saling telikung, bahkan tidak saling sapa sesama teman, kerabat, keluarga, gara-gara memperebutkan atau mempertahankan kekuasaan dan jabatan. Seolah jabatan, kekuasaan, dan pengaruh, di atas segalanya, melampaui level persahabatan, kekerabatan, dan persaudaraan.

Banyak orang yang diberi jabatan hanya bisa menyalahkan keadaan, bahkan orang lain, ketika ia tidak mampu melaksanakan amanah itu dengan baik. Ia lebih suka menghabiskan waktu menangisi kegelapan daripada menyalakan lilin walaupun hanya sebatang untuk menerangi sekeliling.

Di Jepang, seorang menteri mengaku bersalah dan mengundurkan diri hanya gara-gara ketahuan menggunakan fasilitas voucher taksi yang dianggap tidak pantas karena dinilai mengandung unsur benturan kepentingan (conflict of interest).

Bahkan banyak pejabat pemerintahan atau petinggi perusahaan negara maupun swasta mengundurkan diri atau bunuh diri karena berbuat salah atau tidak mampu menjalankan amanah yang diberikan.

Mengundurkan diri dari jabatan karena persoalan prinsipil, perbedaan pandangan, perbedaan sikap, terhadap suatu isu, baik di lingkungan birokrasi pemerintahan maupun di perusahaan, adalah tindakan yang baik.

Lebih elegan daripada tetap memangku jabatan dengan segala fasilitasnya, tetapi tidak sesuai nurani, bahkan makan hati.

Banyak orang yang cuma mampu mengklaim diri berintegritas, jujur, profesional, tetapi tidak mampu menunjukkan itu ketika ia berhadapan dengan konflik kepentingan dan batinnya.

Biasanya, orang seperti itu adalah golongan pecundang. Ia hanya mampu mengklaim, menyalahkan keadaan dan orang lain, namun rela membohongi dirinya, mengkhianati nuraninya, hanya karena demi mempertahankan jabatannya.

Kalau berintegritas, kalau jujur, kalau profesional, dia akan mundur, karena ia akan memberi kesempatan orang lain untuk menjalankan apa yang orang lain anggap benar namun kurang tepat bagi dia.

Ia tidak akan takut kehilangan jabatan, tidak gentar kehilangan pekerjaan, tidak takut jatuh miskin, hanya gara-gara kehilangan jabatan. Seorang profesional sejati akan laku dan dibutuhkan di mana saja.