Telur Setengah Matang dan Perang Psikologi Pilpres

Ute Nurul Akbar - (handover)

LIMA hari pasca Pilpres, suasana masih sengit di arus bawah. Saling jawab bahkan hingga berujung cacian yang seharusnya tidak terjadi masih mewarnai suasana pasca pemilihan. Padahal, klaim kemenangan yang berujung saling caci itu seharusnya tidak terjadi jika kita sedikit ingin bersabar melihat secara jernih bahwa ada lembaga resmi (Baca:KPU) yang seharusnya tampil lebih cepat memberi pemahaman bahwa ini belum selesai. Tapi itulah perang strategi.

Kembali sedikit kebelakang beberapa ratus tahun yang lalu, strategi memenangkan pertempuran secara "halus" telah digunakan pada zaman kuno untuk memenangkan pertempuran mereka. Perang psikologi bertujuan untuk meruntuhkan psikologi musuh sehingga musuh dapat ditaklukkan. 

Teknik yang lazim digunakan bisa berbentuk intimidasi, demoralisasi, ancaman, propaganda dan upaya pembentukan opini. Akibat dari perang ini sangat besar dampaknya, bahkan melebihi dampak yang ditimbulkan dari peperangan dengan menggunakan senjata. 

Ini kisah tentang kisah Perang Dingin dimana Amerika Serikat vs Uni Soviet saling mempertahankan pengaruh. Ada kesadaran senjata, termasuk nuklir, tak cukup memadai untuk menyerang lawan. Perang psikologis menjadi pilihan.

Pada Konferensi Potsdam yang berlangsung Juli 1945, Presiden AS Henry Truman mengetahui bahwa Amerika telah berhasil menguji senjata paling ampuh dalam sejarah manusia. Bom atom menghancurkan perlawanan Jepang dan mengakhiri Perang Dunia Kedua. Tapi cara itu tidak akan digunakan lagi. 

Truman sadar sekaligus tidak siap untuk meluncurkan bom ke Soviet, bahkan saat negara beruang merah itu telah sanggup mengembangkan nuklirnya. Kedua belah pihak membicarakan senjata nuklir, tetapi hanya mencapai jalan buntu. Mereka sadar bahwa perang nuklir tidak hanya bisa berakhir dalam penghancuran suatu negara, atau benua, tapi mungkin peradaban. 

Dengan demikian, untuk menyerang lawan, bahkan mengalahkan mereka, senjata lain akan diperlukan. Di sinilah perang psikologis dan propaganda menjadi penting dalam upaya untuk kemenangan, di samping langkah-langkah ekonomi, politik, dan militer.

Bagaimana Sikap Kita?

Kubu dari paslon 01 dengan berdasar  hasil  hitung cepat dari lembaga survey memompa semangat barisannya dengan klaim kemenangan atas kubu lawannya. Dalam ilmu strategi itu sangat wajar dilakukan terlebih hasil yang ditampilkan di media televisi menguntungkan posisi mereka. Ini bagian dari strategi yang sederhana dalam memainkan psikologi lawan.

Disisi lain. Prabowo sebagai pemimpin tertinggi dari kubunya juga tentu punya kewajiban menjaga moralitas pasukannya dalam "perang" yang baru saja dimulai agar tidak jatuh ambruk begitu saja. Terlebih dia seorang mantan jenderal dari satuan yang sangat strategis yang paham arti penting dari sebuah semangat. 

Tulisan ini tidak dalam kapasistas menilai benar atau salahnya dua langkah strategis yang diambil oleh dua kubu. Tapi melihatnya sebagai sebuah tindakan yang lazim dilakukan bagi setiap pemimpin. Sekaligus melihat tidak hadirnya kualitas dari sebagian besar dari orang yang memandang dua strategi di atas sebagai olok-olokan saja. 

Klaim kubu yang menyatakan menang berdasar hasil mayoritas lembaga survey tentu patut dihargai. Begitupun kubu yang juga menyatakan hal yang sama dengan perspektif yang berbeda. Yang salah adalah kita yang menganggap bahwa klaim itu adalah  hasil akhir yang sudah selesai. Dan menjadikan itu sebagai bahan untuk melakukan pembenaran. 

Mari sedikit bijak untuk sementara melepas fanatisme kita demi menjaga suhu yang sudah terlanjur panas ini untuk tidak semakin mendidih. 

Hal yang justru mengkhawatirkan adalah adanya harapan yang seolah sangat bijak yang menganjurkan kepada pihak yang terklaim kalah agar memperlihatkan sikap jiwa besarnya. Adalah kecelakaan berpikir, jika kita semua juga ikut mengamini dan ikut terjebak dalam alur pikir seperti itu. 

Proses masih sementara berjalan, sikap kenegarawanan dengan saling mengakui kekalahan atau kemenangan belum saatnya. Justru kita menampakkan kedangkalan dan sikap tidak adil berpikir kita jika memaksakan seseorang menyerah dalam pertarungan yang baru saja dimulai dan masih dalam proses yang belum selesai. Ibarat kita sedang merebus telur untuk sarapan pagi. Telur masih setengah masak, bersabarlah sedikit sambil menunggu sajian telur yang benar- benar matang untuk kita nikmati. 


Penulis, 

Ute Nurul Akbar

(Penggiat Ilmu Humaniora)