OPINI: Ekonomi Politik Tiongkok - Myanmar

Nur Iman Saifuloh - (ist)

Oleh: Nur Imam Saifuloh

KETIKA berbagai negara di dunia mencurahkan keprihatinannya terhadap situasi ketidakstabilan politik di Myanmar dengan mendesak Dewan Keamanan PBB untuk ikut turun tangan, sikap yang berbeda ditunjukkan oleh Tiongkok. Situasi di Myanmar yang tidak kunjung kondusif ditambah lagi dengan terjadinya insiden pembakaran pabrik milik Tiongkok di Hlaingthaya serta pembantaian yang menewaskan puluhan warga lokal, Tiongkok justru mempermasalahkan keselamatan aset-aset miliknya. Pernyataan pers yang disampaikan Kedutaan Besar Tiongkok mendesak agar Myanmar mengambil langkah lebih lanjut untuk menghentikan segala aksi kekerasan, menghukum pelaku pembakaran dan menjamin keselamatan pabrik serta karyawan Tiongkok. Mengapa sikap Tiongkok demikian?

Pandangan yang tidak searah antara Tiongkok dengan berbagai negara di dunia sesungguhnya bukanlah pemandangan baru. Spesifik terhadap masalah yang terjadi di Myanmar beberapa waktu silam seperti krisis Rohingya, Tiongkok pun menolak adanya intervensi yang dilakukan oleh Dewan Keamanan PBB. Sikap ini ditempuh Tiongkok lantaran Myanmar terlalu penting baginya.

Secara geografis, Provinsi Yunnan, Tiongkok, merupakan provinsi yang berbatasan langsung dengan Myanmar. Sebagaimana negara-negara di belahan dunia lainnya, masalah perbatasan acap kali menimbulkan konflik. Tiongkok-Myanmar pernah mengalami hal tersebut hingga pada akhirnya mencapai kesepakatan secara damai pada 1960. Perbatasan darat sepanjang 2.204 kilometer itu kini sudah tidak menimbulkan masalah lagi.

Hubungan bilateral Tiongkok-Myanmar pada masa selanjutnya justru semakin erat. Hal ini dapat dilihat dari kerja sama dalam bidang ekonomi dan perdagangan kedua negara. Data impor yang dilakukan oleh Myanmar menurut negara asal pada 5 tahun terakhir (2015 – 2019) menunjukkan bahwa Tiongkok memperoleh bagian yang paling besar. Sebanyak 34 persen atau sekitar 6,44 miliar US$ dari total impor Myanmar dikuasai oleh Tiongkok (World Bank, 2019).

Meskipun sejatinya Myanmar bukanlah tujuan utama ekspor produk Tiongkok, namun posisi strategis Myanmar menjadi pertimbangan bagi Tiongkok agar dapat lebih meningkatkan pengaruhnya di sekitar kawasan. Myanmar merupakan pintu masuk ke Samudera Hinda dan Teluk Benggala. Karena Provinsi Yunnan tidak berbatasan langsung dengan laut maka kerja sama dengan negara tetangga menjadi pilihannya.

Dari hasil kerja sama itu, volume perdagangan Yunnan ke Myanmar mencapai 24 persen dari total perdagangan kedua negara. Selain itu, pada 2018 Tiongkok memasukkan Myanmar dalam koridor ekonominya sebagai bagian dari Belt and Road Initiative, sebuah prakarsa pemerintah Tiongkok untuk menghidupkan kembali kejayaan jalur sutra (silk road) di abad ke-21. Dengan demikian, Tiongkok memiliki kewenangan untuk masuk ke Selat Malaka dan mendapatkan jalur alternatif ke Samudera Hindia.

Untuk menjaga kepentingan ekonominya itu, Tiongkok berusaha membangun hubungan baik dengan pemegang kekuasaan di Myanmar. Sejak menyatakan kemerdekaannya hingga 2010, militer menjadi penguasa politik dan administrasi paling kuat di Myanmar. Pada masa itu, Tiongkok banyak memberikan bantuan mulai dari angkatan bersenjata, pinjaman atau kredit hingga investasi pembangunan. Pasca masuknya demokrasi ke Myanmar pada 2011, masyarakat sipil mulai menunjukkan pengaruhnya. Hal yang sama juga dilakukan Tiongkok demi memperlancar aktivitas ekonomi-politiknya yakni dengan mendekati pemerintah sipil. Keharmonisan hubungan kedua negara itu dibuktikan dengan diizinkannya Tiongkok membangun jaringan pipa minyak dan gas yang membentang sepanjang 2.380 kilometer dari Rakhine, Myanmar hingga Yunnan, Tiongkok.

Walau bagaimanapun, keadaan negara yang bekerja sama dengan Tiongkok akan mempengaruhi kebijakan luar negeri yang diambilnya, termasuk Myanmar. Oleh karena itu, ketika terjadi ketegangan antara militer dan sipil seperti sekarang ini, Tiongkok tidak mengambil sikap tegas untuk mengecam militer Myanmar atau mendukung sipil sebagaimana yang dilakukan oleh negara lain. Jika Tiongkok mendukung salah satu pihak yang bertikai baik militer ataupun sipil, sama-sama akan berdampak pada aset investasi yang sudah ditanam di negara tersebut. Sikap ‘cari aman’ dengan tidak mencampuri urusan internal politik Myanmar inilah yang dianggap penting agar dapat menjaga aset dari kerugian yang lebih besar.

Nur Imam Saifuloh

Mahasiswa Program Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Hasanuddin