OPINI: NA, KPK dan Jejaring Korupsi di Sulsel (2)

Akbar Faizal - (foto by teropongsenayan.com)

Oleh: Akbar Faizal

CUKONG proyek yang bersembunyi di balik jubah gubernur bernama bantuan keuangan atau dari berbagai proyek infrastruktur yang bersumber dari APBD Provinsi. Ini sumber masalahnya. Gaya over-acting TGUPP (Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan) menyempurnakan kerusakan yang ditimbulkannya. Diam-diam KPK mengendus praktek korup ini. Dan sumber petaka itu bernama proyek pembangunan jalan Palampang-Munte-Botolempangan yang menghubungkan Sinjai - Bulukumba. Nilainya hanya Rp 37 miliar yang bersumber dari dana alokasi khusus (DAK).

Satu sumber menyebut proyek ini seharusnya dikerjakan seorang pengusaha Sulsel yang mukim di Papua. Tapi Gubernur meminta Jumras, pejabat Dinas PUPR Sulsel memenangkan Anggu alias Agung Sucipto, pengusaha spesialis proyek pemerintah asal Bulukumba yang dekat dengan NA bahkan saat masih menjabat bupati di Bantaeng. Kata NA kepada Jumras,"Anggu membantu kita (Rp 10 miliar) saat kampanye cagub lalu" seperti yang tercantum dalam dokumen angket. Ya.. utang harus dibayar.

Jumras menolak. NA marah. Anggu menagih. Kisahnya menjadi liar dan dokumen berikut rekaman pembicaraan elektronik jatuh ke tangan beberapa anggota DPRD dan menjadi material Pansus Angket DPRD Sulsel. Kadir Halid, anggota DPRD Fraksi Golkar yang menjadi inisiator utama bertanya kepada saya tentang bagaimana cara membuat pansus sekaligus meminta dokumen pembuatan sebuah pansus. Saya berikan dokumen pembentukan Pansus Angket Bank Century yang pernah kami bikin di Senayan. Sejarah politik lokal mencatat DPRD Sulsel-lah yang pertama membuat pansus untuk level parlemen provinsi dengan gubernur sebagai 'tersangka utama'. Sebuah pencapaian dalam proses ber-DPRD yang patut dicatat.

Para pihak dipanggil ke depan Pansus. Dari Jumras, gubernur dan banyak nama lagi. Termasuk Andi Irfan Jaya. Nama terakhir ini telah divonis pada kasus berbeda yakni bantuan jasa politik dan hukum pelarian Djoko Chandra - Jaksa Pinangki. Andi Irfan yang sebelumnya surveyor dan lalu menjadi politisi tertuduh sebagai penghubung para pihak di proyek Palampang-Munte-Botolempangan tadi. Proyek akhirnya memang jatuh ke tangan Anggu. Masyarakat setempat girang bahagia. Seekor sapi dipotong khusus untuk NA sebagai ungkapan terima kasih. Cerita tentang Pansus hilang ditelan bumi. Tapi KPK ternyata mencium aroma bangkai. Kisah selanjutnya kita tahu seperti apa. NA dicokok KPK. Hanya sampai disitu? Tidak. Nurdin Abdullah, Anggu dan Edy Rahmat (sekretaris Dinas PU dan Tata Ruang) yang telah ditetapkan sebagai tersangka tampaknya segera akan mendapat teman baru. Beberapa nama, kabarnya, segera menyusul. Bupati Bulukumba Andi Sukri Sappewali telah dipanggil KPK sebagai saksi.

Seharusnya mantan bupati Bulukumba ini ditangkap Kejati Sulsel saat masih menjabat pada kasus korupsi pembangunan irigasi PUPR sebesar Rp 39 miliar. Saya sendiri yang meminta Jaksa Agung saat itu, Prasetio, memberi atensi khusus pada kasus ini dalam sebuah rapat kerja di Komisi III. Bukti-bukti yang ada dan pengakuan para pihak khususnya Andi Ichwan lebih dari cukup untuk itu. Beberapa orang berusaha melobi saya agar tidak melanjutkan kasus ini. Andi Sukri panik. Eeeh... malah Andi Ichwan yang ditetapkan tersangka lebih dahulu. Padahal PNS Dinas Pendidikan inilah yang membongkar kasusnya. Kita tunggu apakah Andi Sukri Sappewali juga akan lolos dari KPK pada tautan kasus NA ini. Tanda tangan Andi Sukri dan pada beberapa dokumen yang telah disita KPK pasti membuatnya gelisah hari-hari ini.

Sikap keras saya saat masih menjadi anggota DPR pada beberapa kasus korupsi di Sulsel --terkhusus pada korupsi Andi Sukri Sappewali-- ini membuat beberapa bupati di dapil saya gelisah dan membangun benteng pertahanan yang lalu bersepakat agar sedapat mungkin saya tak boleh lolos lagi ke Senayan. Berhasil. Seorang kawan menunjukkan sebuah percakapan chat WA pada sebuah group berisi kesepakatan para bupati tersebut. Dan pesta dengan para cukong semakin menjadi-jadi. Sang pengganggu kesenangan mereka, Akbar Faizal, tak lagi ada di Senayan.

Tapi pesta tampaknya telah usai. Gelombang keresahan tengah melanda beberapa bupati pengguna fasilitas kebaikan hati gubernur NA tersebut serta beberapa kontraktor alias cukong yang menikmati proyek bantuan keuangan itu. Pada kasus Bupati Wajo Amran Mahmud, saya pernah ungkapkan model dan praktek perselingkuhannya dengan cukong dan preman politiknya pada salah satu rapat kerja dengan KPK. Saat masih dalam proses pencalonan bupati, kepada saya Amran bercerita banyak tentang peran-peran AU. Saat itu, adik kelas saya di SMA Sengkang ini rutin meminta tolong dalam banyak hal. Sejujurnya hanya saya yang peduli padanya saat Amran Mahmud terlunta-lunta karena kalah dari Andi Burhanuddin Unru, bupati yang kemudian digantikannya kini.

Ya..saya tahu seberapa jauh perselingkuhan Amran dengan preman politiknya berikut pemodal kampanyenya. Seminggu sebelum dilantik sebagai bupati, Amran Mahmud bersama istri melancong ke Jepang ditemani AU dan HH. Amran terbang langsung dari Jakarta sementara AU dan HH tiba di Tokyo dengan penerbangan berbeda,. Nginap di hotel kelas menengah, Amran dan istri 'dibelanjain' sepatu, tas dan banyak lagi. Ada kisah lucu. Selama di Tokyo mereka menggunakan transportasi kereta. Suatu waktu, sang preman politik berteleponan dengan setengah berteriak entah dengan siapa. Orang-orang Jepang yang tak terbiasa dengan gaya bertelepon norak seperti itu merasa terganggu. AU mungkin berpikir sedang berada di pete-pete Kota Sengkang. Dasar kampungan.

KPK kabarnya juga mulai menelisik proyek pembangunan jalan akses Poros Barru - kawasan wisata Lejja di Soppeng berbiaya Rp 54 miliar yang diajukan Bupati Soppeng kepada Gubernur NA dengan fasilitas yang sama. Dikerjakan oleh kontraktor HH yang juga menggaruk APBD di Wajo. Problem lain proyek ini karena pembiayaannya dipecah untuk proyek infrastruktur lain dan dikerjakan oleh orang yang sama. Pokoknya, proyek di Wajo - Soppeng adalah 'milik' HH.

Jika saja Kejaksaan berada dalam nafas dan gerak yang sama untuk pemberantasan korupsi di Sulsel maka sebenarnya jajaran Adyaksa bisa melakukan hal yang lebih jauh dan lebih banyak. Pada kasus ambruknya Jembatan Bamba di Pinrang berbiaya Rp 2,4 miliar sepuluh hari setelah diresmikan, Bupati Barru kini, Suardi Saleh, yang saat itu sebagai Kepala Dinas PU Kabupaten Pinrang harus bertanggungjawab. Dua orang --Ir.Gamri dan Muhammad Zain alias Haji Laulu-- telah divonis penjara masing-masing 5 tahun dan 7 tahun penjara atas kasus ini.

Gamri meminta keadilan dan mengirimi saya dokumen lengkap yang menunjukkan Suardi Saleh harus diseret juga ke penjara seperti dirinya. Tapi Suardi Saleh masih melenggang bebas. Saya menjadi maklum saja ketika jembatan penghubung Lampoko-Balusu di kabupaten tempat dia menjadi bupati saat ini juga rubuh. Kebiasaan lamanya kambuh. Kita berharap KPK segera melakukan supervisi terhadap kasus ini. Supervisi adalah sebuah kerjasama penyelesaian kasus antar penegak hukum yang diatur oleh UU.

Seberapa hebat sepak terjang para cukong proyek di Sulsel? Penumpang gelap kebijakan gubernur NA sebenarnya telah hadir bahkan pada gubernur-gubernur sebelumnya. Proses pemilihan gubernur atau bupati/walikota yang tak mengenal belas kasihan memaksa seorang calon kepala daerah secara sadar mencelupkan diri kedalam cawan dahak kotor. Pada kabupaten dengan jumlah pemilih 100 ribu orang, misalnya, sedikitnya dibutuhkan dana kampanye minimal Rp 30 miliar. Disitulah cukong proyek menunggu calon gubernur/bupati datang menyerahkan diri.

Masyarakat Sulsel berhak untuk meminta kesadaran dan kearifan NA untuk membuka semua praktek korup yang menggayuti kebijakan-kebijakannya. Selain penderitaan kolektif masyarakat yang diakibatkannya, NA juga tak layak bertanggungjawab seorang diri. Butuh kesepakatan besar dan gerakan bersama dari masyarakat guna menghentikan cara-cara pengelolaan daerah seperti ini. Kita tak boleh membiarkan Negeri Para Pemberani ini menjadi negeri para pencuri. Para penikmat proyek-proyek dari kebijakan NA tersebut --baik bupati, kadis, cukong/kontraktor hingga para calo proyek-- harus bertanggungjawab. Beberapa orang telah dipanggil KPK meski masih sebagai saksi.

Bukan perkara sulit bagi KPK untuk mengidentifikasi para penikmat uang negara itu. Alur rapat awal pada kantor gubernur untuk penetapan besaran paket bantuan dan proyek yang akan dibiayai, pengajuan proposal dari para bupati/kabupaten, proses tender hingga realisasi pekerjaan bisa menjadi titik temuan lubang persekongkolan yang berujung pada praktek suap menyuap. Dan, temuannya tak akan jauh-jauh yakni pengusaha selingkuhan bupati atau pengusaha titipan gubernur. Kita tunggu saja siapa giliran berikutnya.

Publik Sulsel dengan mudah mengidentifikasi siapa saja mereka-mereka ini. Bisa dihitung jari para pemain besar proyek-proyek infrastruktur yang menguasai pekerjaan berbiaya APBD sejak beberapa tahun lalu. APBD Sulsel memang terus meningkat dari Rp 10 triliun lebih pada 2019, Rp 11 triliun lebih pada 2020 dan menjadi Rp 11,8 triliun pada 2021 ini.

Meski tak ada pembagian wilayah secara baku namun para cukong proyek tahu sama tahu wilayah operasi masing-masing. Proyek (di wilayah) selatan-selatan (Bulukumba, Sinjai, Bantaeng), misalnya, dikuasai oleh Anggu alias Agung Sucipto bersama beberapa koleganya yang memiliki peralatan untuk pekerjaan infrastruktur. Wilayah Bosowa dikuasai oleh HH dan jaringannya. Wilayah Makassar dan sekitarnya yakni Maros, Gowa, Takalar hingga Pangkep menjadi area cukong berinisial HS, HC dan T. Proyek-proyek infrastruktur di daerah Ajatappareng (Sidrap, Pinrang, Enrekang plus Barru) menjadi milik FT dan P. Di Toraja dan Luwu Raya muncul nama JT dan R serta sebuah kelompok usaha berinisial PG. Pekerjaan di Balai Besar PSDA Pompengen dan Jeneberang yang masuk area proyek PUPR juga mereka mainkan meski harus men-drive sendiri dari Jakarta (kementerian teknis dan Banggar DPR). Tapi berat untuk bermain disini kecuali menjadi subkon BUMN karya.

Zulkarnain Arief, saat masih menjabat Ketua Kadin Sulsel, kepada saya pernah mengeluhkan dominasi para cukong piaraan para penguasa wilayah yang disebutnya bahkan tak menyisakan sedikitpun proyek bagi pengusaha yang bernaung di Kadin. Penyebabnya, para kontraktor besar ini berani 'membeli' proyek lebih tinggi dibanding pengusaha lainnya. Tapi seorang pengusaha lain menyebut Zulkarnain 'berjaya' pada gubernur periode sebelumnya. "Beliau tak layak mengeluh," kata pengusaha tadi. Hmmm...

Kita tunggu kerja-kerja KPK menelisik kasus ini berdasarkan dokumen dan alat-alat bukti lainnya yang sudah ada di Kuningan. Sulsel menjadi model penanganan kejahatan korupsi yang terstruktur dan masif. Tampaknya permainan masih panjang. Tapi tak rumit sebab pola besarnya telah terbaca. Itulah mengapa daftar saksi yang dipanggil semakin panjang. Dan posisi saksi bisa berbelok di ujung menjadi tersangka alias TSK. Bersiap-siaplah wahai para pencuri.

Akbar Faizal