OPINI: NA, KPK dan Jejaring Korupsi di Sulsel (1)

Akbar Faizal - (foto by teropongsenayan.com)

Oleh: Akbar Faizal

DIMULAI langsung dari pucuknya, Gubernur Nurdin Abdullah, KPK mengobrak-abrik Sulawesi Selatan. Sebuah penantian yang lama. Saya pernah mengeluhkan soal ini kepada pimpinan KPK dan Deputi Penindakan saat itu, Firli Bahuri, yang kini menjadi Ketua KPK. Mengapa lembaga antirasuah ini selalu 'melewati' Sulsel dalam berbagai operasinya? Setelah Jawa Tengah, misalnya, operasi KPK berikutnya meloncat ke daerah timur Indonesia lainnya. Atau mengubek-ubek wilayah barat setelah mengobok-obok Jawa Barat atau Jawa Timur.

Perselingkuhan para penguasa wilayah dengan kontraktor infrastruktur yang lalu bermetamorfosis menjadi cukong sudah sangat memuakkan. Pesta pernikahan putra seorang cukong proyek infrastruktur dengan putri cukong lainnya di sebuah hotel mewah di Makassar beberapa tahun lalu adalah penampilan terbuka keakraban mereka. Hampir semua kepala pemerintahan daerah dan penegak hukum hadir. Larut dalam kemewahan pesta. Para pemerhati korupsi menyaksikan dari jauh dan semakin yakin perselingkuhan itu masif.

NA menang pilkada gubernur pada 2018 terutama oleh keberhasilannya mengubah wajah Bantaeng. Kabupaten miskin yang wilayahnya hanya tujuh kecamatan itu menjadi tolok ukur keberhasilan pembangunan sebuah daerah. Anggota DPRD dari banyak daerah di Indonesia berdatangan. Judulnya sih Ingin belajar mengelola daerah sambil menghabiskan anggaran kedewanan mereka. Kedekatan NA dengan Pemerintah Jepang juga menjadi faktor pendukung tersendiri. Magister dan doktoralnya didapatkan di Jepang. Bantaeng menerima banyak bantuan langsung maupun tak langsung. Ambulance modern hingga mobil pemadam kebakaran yang bahkan belum dimiliki Pemerintah Kota Jakarta atau Surabaya berseliweran di Bantaeng.

Tapi pilkada selalu mahal. Keberhasilan memimpin Bantaeng adalah satu hal. Tapi pemilih di 23 kabupaten lainnya selain Bantaeng butuh treatment politik tersendiri. Cukong jawabannya. NA tak bisa mengelak. Perselingkuhan dimulai. Kesepakatan terbangun secara diam-diam. Butuh dana besar untuk melalui seluruh proses pilkada. Dari survei awal, membeli tiket partai bernama mahar yang semakin mahal, survei-survei lanjutan, pembentukan tim sukses dan pelatihan saksi. Tentu saja proyek-proyek infrastruktur APBD yang menjadi penjaminan kesepakatan jahat mereka. Pengkhianatan terhadap rakyat dimulai bahkan mungkin sejak lama.

NA tak sendiri. Hampir semua pilkada di Sulsel melibatkan cukong dengan APBD sebagai lembaran akhir kesepakatan. Pada beberapa daerah, satu cukong awalnya hanya kontraktor kecil-kecilan. Namun lalu menggurita setelah bupati dukungannya menang pilkada. Mereka bahkan terang-terangan mencampuri pemerintahan hingga ke urusan promosi dan mutasi pejabat ASN.

Di Kabupaten Wajo, misalnya, semua orang tahu Bupati Amran Mahmud hanya mengendalikan sebagian kekuasaan bupati yang dipegangnya. Sebagian lainnya milik preman politik lokal berinisial APU alias AU yang dikenal jagoan sejak bapaknya masih bupati di masa Orde Baru. APU alias AU adalah master campaign Amran Mahmud saat menang pilkada. Tak ada makan siang gratis. AU tak punya uang. Modalnya hanya gaya ancam dan intimidasi. Tapi dia 'memelihara' beberapa pengusaha lokal dari Wajo dan Soppeng. Kita tahu ujung kisahnya dimana. Satu sumber saya di Kejaksaan menyebut file AU ini masih 'on' dan bisa dibuka kapan saja pada kasus pembangunan kantor bupati Maros yang menjebloskan bupatinya saat itu, Nasrun Amirullah, ke penjara.

Di Pangkep, cukong memenangkan anaknya yang masih bau kencur menjadi bupati mengalahkan kandidat jagoan bupati yang adalah kakak kandungnya sendiri. Terdengar rumit ya? Memang ... Seberantakan kehidupan politik daerah ini. Pangkep terparah mengidap penyakit politik dinasti. Kisah serupa juga terjadi di berbagai di kabupaten lainnya. Riset Nagara Institute, lembaga kajian politik yang saya pimpin, menemukan Sulsel di urutan pertama daerah yang terpapar hebat dinasti politik baik pada dua pilkada serentak terakhir maupun pada pileg 2019 lalu.

OTT KPK terhadap NA yang dikenal bersih dan berprestasi meruntuhkan seluruh bangunan kekaguman banyak orang yang mengelu-elukannya. Juga saya. NA yang awalnya mampu meyakinkan semua orang bahwa dialah orang yang tepat untuk Sulsel ternyata terbelit masalah yang sama. Korupsi. Lalu bagaimana dengan anak buahnya (baca: kepala daerah) yang tak kurang brengseknya? Cerita kolusi, korupsi dan nepotisme nir-prestasi mereka pertontonkan secara terbuka kepada warganya tanpa rasa malu walau digunjing setiap hari. Mungkin mereka pikir toh rakyat juga gampang lupa dan mudah untuk dibuat kagum.

Sejak tahun pertama memerintah Sulsel NA membuat beleid berjudul 'Bantuan Keuangan dan Hibah'. Demikian nomenklaturnya dalam APBD Sulsel. Sebuah program bantuan keuangan bagi kabupaten yang kesulitan pembiayaan untuk infrastruktur pembukaan akses daerah terisolir serta dukungan bagi kepariwisataan. Nilainya lumayan. Rp 500 miliar lebih setiap tahun.

Keterbatasan kemampuan mencari sumber pembiayaan selain dari pemerintah pusat (APBN) membuat banyak bupati selalu kesulitan membangun daerahnya. Problem utamanya tetap sama yakni gagap mencari sumber keuangan baru. Coba cek pendapatan asli daerah (PAD) kabupaten di Sulsel yang angkanya selalu saban tahun. Kebaikan hati Gubernur NA menyediakan dana yang sebenarnya juga diambil dari guyuran pemerintah pusat melalui APBD Provinsi ini menyelamatkan wajah bupati yang penuh janji kampanye.

Caranya, bupati-bupati harus mengajukan proposal untuk mendapatkan fasilitas bantuan keuangan ala NA tadi. Hampir semua kabupaten memanfaatkan kesempatan ini. Luwu Utara, misalnya, mendapat paket bantuan untuk pekerjaan jalan Patila - Munte yang tendernya dimenangkan PT Gangking milik kontraktor berinisial R yang berjaya disini. Poros Patila-Munte dibagi dua. Ruas Rampoang - Karondang senilai Rp 21 miliar lebih. Lalu, ruas Karundeng - Munte berbiaya Rp 19 miliar. Komunitas kontraktor lokal juga pasti mengetahui sepak terjang PT Hospindo Internusa, PT Makassar Indah dan PT Aiwondoni Permai.

Kabupaten Wajo juga kecipratan banyak. Total, daerah sutra ini mendapat gelontoran Rp 103 miliar. Rinciannya, Rp 73 miliar pada 2019 dan Rp 30 miliar pada tahun 2020. Kata seorang anggota DPRD Wajo, dananya digunakan membangun beberapa ruas jalan tapi bukan membuka daerah terisolir sesuai peruntukannya. Yakni, ruas Impa-impa -Anabanua sepanjang 4,6 Km berbiaya Rp 30 miliar yang dikerjakan PT Mega Bintang Utama. Lalu, ruas Solo - Peneki sepanjang 7,4 Km dengan total anggaran Rp 24,7 miliar oleh PT Tocipta Sarana Abadi. Satu pejabat di Sengkang menyebut proyek-proyek ini dikerjakan Nuwardi bin Pakki alias Haji Momo, pengusaha piaraan AU sang preman politik tadi. Miliaran uang Haji Momo dipakai Amran Mahmud berkampanye pada pilkada. Banyak laporan keluhan warga tentang kualitas jalan yang mereka kerjakan. Haji Momo telah diperiksa KPK sebagai saksi tentang aliran-aliran dana dari proyek Pemprov.

Tapi warga kota Sengkang lebih akrab dengan nama PT Lompulle, perusahaan kontraktor asal Soppeng yang mengerjakan banyak sekali proyek di Wajo. Sekadar menyebut beberapa proyek jalan yang mereka dapatkan yakni peningkatan kapasitas struktur jalan ruas Sompe-Lapaukke berbiaya Rp 12,9 miliar. Atau, peningkatan jalan ruas Bila-Nyelle di Kecamatan Pammana berbiaya Rp 29,1 miliar. Pemilik PT Lompulle, HH, adalah cukong yang membiayai kampanye Amran Mahmud. Pengusaha yang bukan kelompok AU dan Amran Mahmud hanya bisa gigit jari.

Banyak pertanyaan muncul mengapa seluruh anggaran yang didapatkan Wajo tadi melulu untuk membangun infrastruktur jalan? Mengapa tidak menambah anggaran pariwisata Wajo yang hanya Rp 300 juta pada tahun anggaran 2020 seperti pengakuan Dahniar Taqwa, Kadis Pariwisata Wajo dalam diskusi daring dengan komunitas Hipermawa Wajo? Jawabannya, menyiapkan menu bagi cukong.

Bupati Amran Mahmud sebenarnya menyiapkan pembangunan infrastruktur pariwisata tapi masih sebatas gambar tiga dimensi di layar komputer. Itu pun tak jelas alasan rencana membangun fasilitas pariwisata di pinggir sungai wilayah Tokampu yang juga langganan banjir dari danau Tempe setiap musim hujan tiba. Tapi bisa dipastikan kelak proyek ini akan jatuh ke tangan cukong utamanya. Wajar jika pendapatan dari sektor pariwisata Kabupaten Wajo yang hanya Rp 70 juta sepanjang tahun 2020 lalu. Hmmm... Keuntungan penjualan sate Pak Maryono dekat rumah saya jauh diatas angka itu.

Kisah yang sama terjadi di Soppeng. Rp 54 Miliar digelontorkan pemprov untuk pembangunan jalan poros Barru-Kawasan Wisata Lejja. Lejja, sebuah kawasan wisata air panas masuk dalam rencana besar pengembangan Soppeng untuk perikanan, peternakan dan perkebunan sebagai bagian dari kerjasama daerah kembar dengan Distrik Ehime, Jepang. Parepare juga menikmati kebaikan hati gubernur berupa bantuan sebesar Rp 72 miliar pada tahun anggaran 2019 untuk penyelesaian tower pertama RS Ainun Habibie. Tahun berikutnya Walikota Parepare kembali meminta tambahan anggaran Rp 36 miliar namun ditolak gubernur.

Jeneponto dan pangkep menikmati bantuan serupa. Jalan tembus Pangkep-Bone yang bisa menghemat perjalanan antar kedua wilayah hingga 45 menit berasal dari paket bantuan ini. Kabarnya, pembangunan rest area di Jeneponto juga bagian dari paket bantuan keuangan NA tadi. "Hampir semua kabupaten memanfaatkan fasilitas ini,' kata satu sumber. Beberapa analisis menyebut fasilitas bantuan ini adalah 'bayar utang' NA kepada bupati-bupati pendukungnya. Bantuan puluhan miliar kepada Soppeng tadi tampaknya menjadi paket 'jasa pengkhianatan' Andi Kaswadi terhadap Nurdin Halid, Ketua DPD I Golkar Sulsel yang juga maju sebagai calon gubernur berhadapan dengan NA. Nurdin Halid kalah telak di Soppeng. Padahal Andi Kaswadi, Bupati Soppeng, adalah Ketua Golkar Soppeng. Bagi NA sendiri, fasilitas bantuan ini adalah senjata pemukul efektif 'menundukkan' bupati yang bandel pada kebijakannya. Taktis. Lantas dimana masalahnya?

Bersambung ke bagian 2:

OPINI: NA, KPK dan Jejaring Korupsi di Sulsel (2)