Peringatan Hari Korban 40.000 Jiwa, Ini Sejarah Pembantaian Belanda di Sulsel

Monumen korban 40 ribu jiwa - (foto by Ria)

CELEBESMEDIA.ID, Makassar - Hari ini adalah momen yang sangat bersejarah bagi masyarakat Sulawesi Selatan. Di tanggal 11 Desember, menjadi peringatan Hari Korban 40.000 Jiwa, peristiwa bersejarah yang berkaitan erat dengan pembataian Westerling.

Di salah satu sudut Kota Makassar terdapat sebuah pendopo bertuliskan 'Monumen Korban 40.000 Jiwa Sulawesi Selatan' yang terletak di Jalan Langgau, Makassar.

Di lokasi inilah menurut cerita yang beredar di masyarakat, merupakan tempat penguburan massal bagi warga Makassar yang menjadi korban pembantaian penjajah Belanda yang dipimpin Kapten Raymond Westerling pada tahun 1946-1947.

Sejarawan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin (Unhas), Dias Pradadimara mengatakan, peristiwa ini terjadi pada 11 Desember 1946 hingga Februari 1947. Sasarannya adalah Desa Batua serta beberapa desa kecil di sebelah timur Makassar dan Westerling sendiri yang memimpin operasi itu.

"Tapi, tidak diketahui pasti berapa jumlah dalam pemberontakan pembantaian itu, Westerling melaporkan bahwa jumlahnya antara 3.000 sampai 4.000 orang yang kemudian perempuan dan anak-anak dipisahkan dari pria," katanya, Rabu (11/12/2019).


Namun, lanjut Dias, angka itu memiliki dampak yang luar biasa sekali dan kata 40.000 itu merupakan angka yang diucapkan oleh Kahar Muzakar untuk menggugah dunia internasional sebagai upaya untuk menggugat Belanda karena ada pelanggaran HAM yang telah dilakukan saat itu.

Menurutnya, meski tidak mencapai angka rill 40.000 korban jiwa, metode yang dilakukan oleh pasukan Westerling saat itu memang memberikan efek kengerian bagi masyarakat.

Westerling menggiring semua penduduk untuk berkumpul di lapangan. Setelah itu, ia mengambil dua atau tiga tahanan dari penjara dan menembak di depan semua penduduk yang berkumpul, sehingga membuat ketakutan massa.

"Itu dilakukan untuk mencari siapa-siapa saja yang ekstrimis Belanda atau pejuang yang menentang Belanda. Jika tidak ada yang mengaku, dia tunjuk anak-anak untuk menunjuk siapa saja yang lewat kemudian ditembak di tempat," jelasnya.

Dosen Sejarah Unhas ini juga menyebut, memang tidak banyak rekaman atau jejak sejarah terkait aksi pejajahan saat itu. Namun, kisah atau cerita itu secara turun menurun diceritakan dalam adat budaya Makassar.

"Kalau data foto atau dokumen lainnya memang tidak ada, paling hanya surat perintah pejabat Westerling, tapi itu ada di arsip Belanda. Kalau cerita kejadian memang secara langsung tercatat secara turun menurun oleh masyarakat terutama penduduk lama di daerah tersebut," terangnya.